NIKAH SYUBHAH ATAU PERSETUBUHAN SYUBHAH
NIKAH SYUBHAH ATAU PERSETUBUHAN SYUBHAH
PENDAHULUAN
Usul Fiqh merupakan satu
pembelajaran yang membawa kita supaya dapat mengetahui sesuatu sejarah
bagaimana terjadinya syariat atau syariah islamiah yang diikuti oleh setiap
umat Islam dari zaman kerasulan
Nabi Muhammad S.A.W sehingga ke
akhir zaman iaitu kiamat syariah atau syariat itu pada bahasanya bermaksud
suatu bahasa yang membawa kita ke jalan yang lurus, sepertimana air berjalan
dan beraliran air itu. Selain itu, syariah itu pada istilahnya bermaksud
perintah Allah untuk hambanya supaya ikut akan agama tersebut dengan
kepelbagaian hukum yang ada didalam perintah Allah iaitu Al-quran. Hukum-hukum
yang terdapat dalam kalam Allah itu dipanggil sebagai syariat kerana setiap
arahan atau larangan Allah itu dikenali sebagai syariat.
Anak adalah amanah sekaligus kurniaan
Allah SWT, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat,
martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Orang tua,
keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak
asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian
pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, Negara dan Pemerintah
bertanggung jawab menyediakan fasilitas sarana dan prasarana bagi anak,
terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan
terarah. Sebagaimana diketahui bahwa pada saat sekarang ini banyak orang tua
yang tidak memelihara anaknya dengan baik walaupun telah dikatakan bahwa anak
adalah amanah Allah SWT, hal ini diakibatkan karena menurunnya moral masyarakat
yang ditandai dengan meluasnya pergaulan bebas sehingga mengakibatkan banyaknya
bayibayi yang lahir di luar nikah.
Akibat dari semua ini hampir setiap
hari di media massa baik cetak maupun elektronik banyak menayangkan
berita-berita tentang bayi-bayi yang dibuang oleh orang tuanya yang tidak
bertanggung jawab, atau ditinggal begitu saja di rumah sakit dimana mereka
dilahirkan. Cukup banyak dari bayi-bayi tersebut didapati telah menjadi mayat,
namun tidak sedikit pula yang selamat atau masih hidup. Perkawinan bukan untuk
keperluan sesaat tetapi untuk seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai
luhur. Dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun
diatas nilai-nilai sakral karena berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa
yang merupakan sila pertama Pancasila, maksudnya adalah bahwa perkawinan tidak
cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja tetapi harus
kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan fondasi dalam membentuk
keluarga bahagia dan kekal. Rumah tangga yang dibentuk haruslah didasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa norma-norma (hukum) agama
harus menjiwai perkawinan dan pembentukan keluarga yang bersangkutan. Oleh
karena itu, jelaslah bahwa perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tidak semata-mata hubungan hukum saja antara seorang pria dan seorang wanita,
tetapi juga mengandung aspek-aspek lainnya seperti agama, biologis, sosial, dan
adat istiadat. Agar tujuan tercapai, maka setelah terjadinya perkawinan harus
ada keseimbangan kedudukan antara suami isteri. Dengan demikian, segala sesuatu
yang terjadi dalam keluarga merupakan hasil keputusan bersama antara suami
isteri berdasarkan musyawarah muafakat.
Perkawinan merupakan peristiwa
penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap
hubungan antara pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan
pihak lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan
tersebut dilahirkan anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya. Berdasarkan Pasal 45 Undang-undang Nombor 1 Tahun 1974 hukum antara
orang tua dengan anak menimbulkan kewajiban orang tua, antara lain tanggung
jawab untuk memelihara dan mendidik anak-anak sampai mereka berdikari[i]
Definisi Nikah Syubhah adalah
sebagai berikut :
وَضَابِطُ نِكَاحِ الشُّبْهَةِ أَنْ يَنْكِحَ نِكَاحًا فَاسِدًا مُجْمَعًا عَلَى فَسَادِهِ لَكِنْ يُدْرَأَ الْحَدُّ كَأَنْ يَتَزَوَّجَ بِمُعْتَدَّةٍ أَوْ خَامِسَةٍ أَوْ ذَاتِ مَحْرَمٍ غَيْرِ عَالِمٍ وَيَتَلَذَّذُ بِهَا أَوْ يَطَأُ امْرَأَةً يَظُنُّهَا زَوْجَتَهُ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أَصْلُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ وَفَرْعُهَا
"Batasan Nikah Syubhah adalah ia menikah dengan pernikahan yang fasad/rosak/tidak sah, yang telah disepakati/ijmak akan fasidnya, akan tetapi hukum had ditolak (tidak ditegakkan, seperti ia menikah dengan seorang wanita yang masih dalam masa 'iddah, atau dengan istri yang kelima, atau dengan wanita yang masih merupakan mahramnya, dalam kondisi ia tidak mengetahui hal tersebut dan ia telah berledzat-ledzat dengannya, atau ia menjimak seorang wanita yang ia sangka adalah istrinya. Maka diharamkan baginya asal dan furu' dari setiap wanita tersebut" (Ats-Tsamr Ad-Daani fi Tqriib al-Ma'aani, syarh Risaalah Ibni Abi Zaid Al-Qoyrowaani, karya Sholeh bin Abids Samii' Al-Aaabi Al-Azhari (wafat 1335 H), hal 352, cetakan Mushthofa Al-Baabiy Al-Halabi, tahun 1338 H)
Diantara pernikahan syubhah adalah pernikahan tanpa wali. Meskipun pernikahan ini masih diperselisihkan akan kebolehannya, akan tetapi menurut jumhur ulama pernikahan tersebut tidaklah sah.
Hal ini dikarenakan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
أيُّما امرأةٍ نَكَحَتْ بغير إذن مواليها؛ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ (ثلاث مرات)
"Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil" (HR Abu Daawud no 1817 dan Ibnu Maajah no 1524)[1]
وَضَابِطُ نِكَاحِ الشُّبْهَةِ أَنْ يَنْكِحَ نِكَاحًا فَاسِدًا مُجْمَعًا عَلَى فَسَادِهِ لَكِنْ يُدْرَأَ الْحَدُّ كَأَنْ يَتَزَوَّجَ بِمُعْتَدَّةٍ أَوْ خَامِسَةٍ أَوْ ذَاتِ مَحْرَمٍ غَيْرِ عَالِمٍ وَيَتَلَذَّذُ بِهَا أَوْ يَطَأُ امْرَأَةً يَظُنُّهَا زَوْجَتَهُ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أَصْلُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ وَفَرْعُهَا
"Batasan Nikah Syubhah adalah ia menikah dengan pernikahan yang fasad/rosak/tidak sah, yang telah disepakati/ijmak akan fasidnya, akan tetapi hukum had ditolak (tidak ditegakkan, seperti ia menikah dengan seorang wanita yang masih dalam masa 'iddah, atau dengan istri yang kelima, atau dengan wanita yang masih merupakan mahramnya, dalam kondisi ia tidak mengetahui hal tersebut dan ia telah berledzat-ledzat dengannya, atau ia menjimak seorang wanita yang ia sangka adalah istrinya. Maka diharamkan baginya asal dan furu' dari setiap wanita tersebut" (Ats-Tsamr Ad-Daani fi Tqriib al-Ma'aani, syarh Risaalah Ibni Abi Zaid Al-Qoyrowaani, karya Sholeh bin Abids Samii' Al-Aaabi Al-Azhari (wafat 1335 H), hal 352, cetakan Mushthofa Al-Baabiy Al-Halabi, tahun 1338 H)
Diantara pernikahan syubhah adalah pernikahan tanpa wali. Meskipun pernikahan ini masih diperselisihkan akan kebolehannya, akan tetapi menurut jumhur ulama pernikahan tersebut tidaklah sah.
Hal ini dikarenakan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
أيُّما امرأةٍ نَكَحَتْ بغير إذن مواليها؛ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ (ثلاث مرات)
"Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil" (HR Abu Daawud no 1817 dan Ibnu Maajah no 1524)[1]
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ نِكَاح إِلاَّ بِولِيٍّ
"Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali" (lihat Irwaaul Goliil hadits no 1839, 1840, 1841)
Maka bagi jumhur ulama pernikahan tanpa wali merupakan pernikahan yang batil. Jika dilakukan oleh seseorang karena kejahilan maka jadilah pernikahan syubhah.
Abul Fadhl Sholeh (Anak Lelaki Imam Ahmad) berkata : "Dan aku bertanya kepada Imam Ahmad tentang seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya, lalu lelaki yang menikahinya menjatuhkan talak tiga kepadanya, lalu setelah itu wali sang wanita membolehkan pernikahan, maka apakah sang wanita halal (untuk dinikahinya kembali) sebelum dinikahi oleh lelaki yang lain, karena pernikahan yang pertama adalah pernikahan yang fasid (rosak)?"
Imam Ahmad berkata, "Wanita tersebut tidak boleh kembali kepadanya, kerana pernikahan pertama jika membuahkan anak maka anak tersebut akan mengikuti sang lelaki, kerana ini adalah nikah syubhah. Maka tidak halal baginya kecuali jika telah dinikahi oleh lelaki yang lain" (Masaail Al-Imaam Ahmad bin Hanbal, riwayat putranya Abul Fadhl Sholeh 2/338 no 975)[2]
لاَ نِكَاح إِلاَّ بِولِيٍّ
"Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali" (lihat Irwaaul Goliil hadits no 1839, 1840, 1841)
Maka bagi jumhur ulama pernikahan tanpa wali merupakan pernikahan yang batil. Jika dilakukan oleh seseorang karena kejahilan maka jadilah pernikahan syubhah.
Abul Fadhl Sholeh (Anak Lelaki Imam Ahmad) berkata : "Dan aku bertanya kepada Imam Ahmad tentang seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya, lalu lelaki yang menikahinya menjatuhkan talak tiga kepadanya, lalu setelah itu wali sang wanita membolehkan pernikahan, maka apakah sang wanita halal (untuk dinikahinya kembali) sebelum dinikahi oleh lelaki yang lain, karena pernikahan yang pertama adalah pernikahan yang fasid (rosak)?"
Imam Ahmad berkata, "Wanita tersebut tidak boleh kembali kepadanya, kerana pernikahan pertama jika membuahkan anak maka anak tersebut akan mengikuti sang lelaki, kerana ini adalah nikah syubhah. Maka tidak halal baginya kecuali jika telah dinikahi oleh lelaki yang lain" (Masaail Al-Imaam Ahmad bin Hanbal, riwayat putranya Abul Fadhl Sholeh 2/338 no 975)[2]
Contoh-Contoh Nikah Syubhah
Contoh-contoh nikah syubhah diantaranya:
- Ia menikahi wanita tanpa wali, karena menyangka bahwa hal itu diperbolehkan (yaitu nikah syubhah menurut jumhur ulama yang mempersyaratkan izin wali)
- Pernikahan Syighar, yaitu ia menikahkan putrinya dengan seorang lelaki dengan syarat ia menikahi putri lelaki tersebut. Ia menyangka bahwa pernikahan tersebut halal baginya
- Ia menikahi seorang wanita yang ternyata masih berstatus istri orang lain, hanya saja ia tidak tahu dan menyangka bahwa wanita tersebut telah diceraikan
- Seorang wanita yang ditinggal lama oleh suaminya tanpa ada kabar, lantas Hakim memberi keputusan bahwa wanita tersebut dihukumi telah cerai dari suaminya yang pergi tanpa kabar. Lantas wanita tersebut menikah dengan lelaki lain. Akan ternyata suami pertamanya kembali. Maka ada perbedaan pendapat dalam hal ini, bagi ulama yang berpendapat bahwa wajib bagi sang wanita kembali kepada suami pertamanya maka jadilah pernikahan lelaki yang kedua merupakan pernikahan yang dibangun di atas akad syubhah
- Ia menikahi wanita yang masih di dalam masa 'iddahnya
- Ia menikahi wanita yang kelima (padahal poligami maksimal hanya 4 wanita)
- Ia menikahi wanita yang masih mahramnya, seperti saudari sepersusuannya atau wanita yang pernah dinikahi ayahnya.[3]
Contoh-contoh nikah syubhah diantaranya:
- Ia menikahi wanita tanpa wali, karena menyangka bahwa hal itu diperbolehkan (yaitu nikah syubhah menurut jumhur ulama yang mempersyaratkan izin wali)
- Pernikahan Syighar, yaitu ia menikahkan putrinya dengan seorang lelaki dengan syarat ia menikahi putri lelaki tersebut. Ia menyangka bahwa pernikahan tersebut halal baginya
- Ia menikahi seorang wanita yang ternyata masih berstatus istri orang lain, hanya saja ia tidak tahu dan menyangka bahwa wanita tersebut telah diceraikan
- Seorang wanita yang ditinggal lama oleh suaminya tanpa ada kabar, lantas Hakim memberi keputusan bahwa wanita tersebut dihukumi telah cerai dari suaminya yang pergi tanpa kabar. Lantas wanita tersebut menikah dengan lelaki lain. Akan ternyata suami pertamanya kembali. Maka ada perbedaan pendapat dalam hal ini, bagi ulama yang berpendapat bahwa wajib bagi sang wanita kembali kepada suami pertamanya maka jadilah pernikahan lelaki yang kedua merupakan pernikahan yang dibangun di atas akad syubhah
- Ia menikahi wanita yang masih di dalam masa 'iddahnya
- Ia menikahi wanita yang kelima (padahal poligami maksimal hanya 4 wanita)
- Ia menikahi wanita yang masih mahramnya, seperti saudari sepersusuannya atau wanita yang pernah dinikahi ayahnya.[3]
Hukum-Hukum Berkaitan Dengan Nikah
Syubhah :
Pertama: Ada pernikahan yang disepakati akan batilnya (seperti menikahi wanita di masa iddahnya, atau menikahi wanita sebagai istri yang kelima, atau menikahi wanita saudara sepersusuan), maka jika dilakukan oleh kedua pihak (lelaki dan wanita) tanpa mengetahui hukumnya maka itu adalah nikah syubhat menurut kesepakatan ulama.
Ada juga pernikahan yang diperselisihkan, seperti pernikahan tanpa wali wanita, menurut sebagian madzhab pernikahan tersebut sah. Akan tetapi menurut madzhab yang lain pernikahan tersebut batil. Maka pernikahan ini menurut madzhab yang lain adalah pernikahan syubhah.
Kedua: Jika kedua belah pihak melakukan pernikahan syubhah tanpa mengetahui hukumnya maka keduanya tidak berdosa karena kejahilan, akan tetapi pernikahan tersebut harus segera dibatalkan (dipisahkan keduanya).
Ketiga: Anak-anak hasil pernikahan syubhat tersebut (yang disebabkan kejahilan) maka hukum mereka seperti anak-anak hasil pernikahan yang sah. (Lihat Fatawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 21/70-71 no 2195 tentang hukum anak-anak hasil pernikahan antara seorang lelaki dengan saudari sepersusuannya)
Kerananya wajib bagi sang ayah untuk menafkahi mereka, dan anak-anak tetap dinisbahkan kepada sang ayah, serta berlaku hukum waris antara sang ayah dan mereka.
Ketiga: Jika ternyata kedua belah pihak mengetahui kebatilan pernikahannya dan tetap nekat untuk menikah maka keduanya dianggap telah berzina dan melakukan dosa besar, bahkan harus ditegakan hukum had atas keduanya karena telah melakukan perzinaan. Dan jika ternyata pernikahan tersebut membuahkan anak maka sang anak dinisbahkan kepada ibunya, dan tidak boleh dinisbahkan kepada ayahnya karena merupakan anak zina.[4]
Pertama: Ada pernikahan yang disepakati akan batilnya (seperti menikahi wanita di masa iddahnya, atau menikahi wanita sebagai istri yang kelima, atau menikahi wanita saudara sepersusuan), maka jika dilakukan oleh kedua pihak (lelaki dan wanita) tanpa mengetahui hukumnya maka itu adalah nikah syubhat menurut kesepakatan ulama.
Ada juga pernikahan yang diperselisihkan, seperti pernikahan tanpa wali wanita, menurut sebagian madzhab pernikahan tersebut sah. Akan tetapi menurut madzhab yang lain pernikahan tersebut batil. Maka pernikahan ini menurut madzhab yang lain adalah pernikahan syubhah.
Kedua: Jika kedua belah pihak melakukan pernikahan syubhah tanpa mengetahui hukumnya maka keduanya tidak berdosa karena kejahilan, akan tetapi pernikahan tersebut harus segera dibatalkan (dipisahkan keduanya).
Ketiga: Anak-anak hasil pernikahan syubhat tersebut (yang disebabkan kejahilan) maka hukum mereka seperti anak-anak hasil pernikahan yang sah. (Lihat Fatawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 21/70-71 no 2195 tentang hukum anak-anak hasil pernikahan antara seorang lelaki dengan saudari sepersusuannya)
Kerananya wajib bagi sang ayah untuk menafkahi mereka, dan anak-anak tetap dinisbahkan kepada sang ayah, serta berlaku hukum waris antara sang ayah dan mereka.
Ketiga: Jika ternyata kedua belah pihak mengetahui kebatilan pernikahannya dan tetap nekat untuk menikah maka keduanya dianggap telah berzina dan melakukan dosa besar, bahkan harus ditegakan hukum had atas keduanya karena telah melakukan perzinaan. Dan jika ternyata pernikahan tersebut membuahkan anak maka sang anak dinisbahkan kepada ibunya, dan tidak boleh dinisbahkan kepada ayahnya karena merupakan anak zina.[4]
Jika tatkala terjadi pernikahan, sang wanita
mengetahui kebatilan pernikahan tersebut sementara sang lelaki tidak
mengetahuinya maka yang dianggap telah berzina adalah sang wanita, dan anak
hasil pernikahan tersebut tetap dinisbahkan kepada sang lelaki karena ia tidak
mengetahui hukumnya. (lihat Fatwa Al-Lajnah Ad-Daaimah 20/387 no 3408)
Keempat: Jika pernikahan tersebut memungkinkan untuk dilanjutkan dengan memenuhi persyaratan yang kurang, seperti:
- Pernikahan tanpa wali, maka boleh melakukan akad pernikahan baru dengan persetujuan wali sang wanita.
Dan boleh langsung bagi mereka berdua untuk melakukan akad pernikahan yang baru meskipun masih dalam masa idah, karena idahnya adalah idah dia sendiri. Hal ini sebagaimana seseorang yang menceraikan istrinya talak pertama ataupun talak kedua, maka ia boleh langsung kembali kepada istrinya karena idahnya adalah dari air maninya sendiri.
Akad yang baru tentunya dengan persyaratan yang baru dan mahar yang baru.
- Pernikahan dengan seorang yang masih di masa iddahnya, maka boleh melakukan akad kembali setelah selesai masa iddahnya
- Jika kerana pernikahan Syighar, maka masing-masing memperbaharui akad nikahnya, tanpa harus cerai, dan dengan mahar yang baru serta persetujuan wali masing-masing wanita tanpa persyaratan syighar (lihat Majmuu Fataawa Syaikh Bin Baaz 20/283-284 no 148 tentang anak-anak hasil pernikahan syighar)[5]
Keempat: Jika pernikahan tersebut memungkinkan untuk dilanjutkan dengan memenuhi persyaratan yang kurang, seperti:
- Pernikahan tanpa wali, maka boleh melakukan akad pernikahan baru dengan persetujuan wali sang wanita.
Dan boleh langsung bagi mereka berdua untuk melakukan akad pernikahan yang baru meskipun masih dalam masa idah, karena idahnya adalah idah dia sendiri. Hal ini sebagaimana seseorang yang menceraikan istrinya talak pertama ataupun talak kedua, maka ia boleh langsung kembali kepada istrinya karena idahnya adalah dari air maninya sendiri.
Akad yang baru tentunya dengan persyaratan yang baru dan mahar yang baru.
- Pernikahan dengan seorang yang masih di masa iddahnya, maka boleh melakukan akad kembali setelah selesai masa iddahnya
- Jika kerana pernikahan Syighar, maka masing-masing memperbaharui akad nikahnya, tanpa harus cerai, dan dengan mahar yang baru serta persetujuan wali masing-masing wanita tanpa persyaratan syighar (lihat Majmuu Fataawa Syaikh Bin Baaz 20/283-284 no 148 tentang anak-anak hasil pernikahan syighar)[5]
Kelima: Jika pernikahan tersebut tidak mungkin
untuk dilanjutkan, maka tidak boleh dilanjutkan kembali, misalnya:
- Ternyata sang wanita yang ia nikahi adalah saudara sepersusuannya
- Ternyata sang wanita yang ia nikahi adalah saudara sepersusuannya
- Ternyata sang wanita yang dinikahinya pernah
dinikahi oleh ayahnya
MAKSUD SEBENAR SYUBHAH (hadis 6 daripada hadis 40 imam nawawi)
Maksudnya:
“Dari Abu Abdullah An-Nu’man bin Basyir r.a. katanya: saya telah
mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya yang halal itu terang (jelas)
dan yang haram itu terang (jelas) dan di antara keduanya pula terdapat
perkara-perkara yang syubhah (tidak terang halal atau haram) yang tiada
diketahui oleh ramai. Orang yang memelihara drinya dari perkara-perkara yang
syubhah itu adalah seperti orang yang melindungi agama dan kehormatan dirinya.
Orang yang tergelincir ke dalam perkara syubhah itu akan tergelincir masuk ke
dalam perkara haram. Laksana seorang pengembala di pinggir sebuah tempat
larangan. Hampir sangat ia menternak ke dalamnya (tempat larangan itu).
Ketahuilah, bagi setiap raja ada tempat larangan, dan tempat larangan Allah itu
adalah perkara-perkara yang diharamkanNya. Dan ketahuilah pada setiap jasad itu
seketul daging. Andainya ia baik, baiklah seluruh jasad itu dan sekiranya ia
rosak maka rosaklah seluruhnya jasad itu. Itulah hati”.[6]
1.
Muqaddimah
Perawi hadis
ini ialah Abu Abdullah An-Nu’man bin Basyir, yang merupakan seorang Ansar dari
suku Khazraj. Ibunya seorang sahabat dan juga saudara kepada Abdullah bin
Rawahah. Ayahnya Basyir pernah meminta Rasulullah mengajarnya berselawat
(sebagaimana selawat dalam solat).
1.
Halal dan Haram
Pengertian
Halal di sisi Imam Syafi’e ialah “Apa-apa yang tidak disebutkan oleh syarak
tentang haramnya.” Manakala di sis Imam Abu Hanifah pual ialah, “apa-apa yang
di sebut oleh syarak tentang halalnya.”
Perkara halal
dan haram yang sudah jelas termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah tidak boleh
dipertikaikan lagi. Sami’na wa ato’ na.
Halal dan haram
itu meragumi aspek makan minum, pakaian, pekerjaan, muamalah dan segala aspek
kehidupan.
Ada perkara
haram yang meliputi zatnya sahaja dan ada yang meliputi zat dan kerana
selainnya. Dan ada juga yang zatnya halal tapi haram kerana selainnya.
2.
Perkara Syubhah
Perkara syubhah
ertinya perkara yang berada dalam kesamaran, tidak jelas hukumnya sama ada
halal atau haram. Biasa ia disebabkan oleh factor pertentangan dua dalil
atauapun kerana tiada dalil/nas yang terang/sorih.
Kaedah menjaga
diri daripada terlibat dengan syubhah adalah kaedah wara’.
Contohnya zaman
nabi: Kisah ketika Nabi SAW bersama dengan isterinya Safiyyah di tempat awam.
Ketika itu, 2 lelaki yang berlalu di situ ditahan oleh nabi untuk memberi
penjelasan bahawa baginda bersama isterinya Safiyyah bagi mengelakkan sangkaan
buruk.[7]
3.
Kawansan Larangan
“Dan barang
siapa yang terjerumus dalam syubhah, ia terjerumus dalam perkara haram”,
membawa dua pengerti:
Pertama,
seseorang melakukan perkara haram tetapi ia menyangkanya halal. Kedua,
seseorang melakukan perkara yang dekat dengan perkara haram. Umpamanya lelaki
dan wanita yang bukan mahram berdua-duaan tanpa ikatan perkahwinan dikira
melakukan perkara haram kerana ia boleh membawa kepada zina.
Ketahui bagi
Allah yang juga ada kawasan larangannya iaitu segala perkara haram ataua
maksiat yang membawa kepada haram yang lebih besar.
Contohnya,
kisah Bani Israel yang suka membunuh para nabi. Asalnya, mereka hanya
menderhaka ajaran nabi-nabi mereka, yang akhirnya melampaui batas sehingga
membawa kepada kufur dan membunuh para nabi.
4.
Hati
Hati adalah
Raja kepada anggota tubuh badan. Sekiranya hati baik, baiklah seluruh anggota.
Sekiranya rosak, rosaklah anggota (melakukan maksiat)
Nabi bersabda;
“Tidak lurus iman seseorang hamba sehinggalah lurus hatinya.”
5.
Kaedah Fiqh
Ulama Fiqh
merumuskan satu kaedan berdasarkan kepada hadis ini iaitu “apa-apa yang membawa
kepada haram, maka ianya juga adalah haram.”[8]
PERZINAAN
Secara
etimologi, zina diertikan sebagai:
وطء
الجل المرأة القبل فى غير ملك وشبهة
Ertinya:
Hubungan persetubuhan yang
dilakukan seorang lelaki ke kemahuan wanita yang bukan milik (nya) dan tidak
terdapat syubhah dalam hubungan tersebut.
Berdasarkan pengertian Bahasa ini, terdapat
perbezaan pengertian terminology zina yang dikemukakannya oleh para ulama fiqh.
Ulama Malikiyyah mendefinisikannya dengan “hubungan persetubuhan yang dilakukan
oleh lelaki mukallaf pada kemaluan wanita (al-qubul) yang dilakukan secara
sengaja dan wanita itu sekali bukan miliknya”. Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan
zina dengan “memasukkan zakar ke kemaluan wanita yang diharamkan (syara’) dan
diiringi dengan berahi atau keinginan, tanpa ada unsur syubhah”. Ulama
Hanabilah mendefinisikannya dengan “suatu nipis dan tidak menghalangi daripada
menimbulkan rasa kenikmatan atau kelazatan.
Segala bentuk hubungan persetubuhan
yang tidak memasukkan zakar ke kemaluan wanita tidak dianggap zina yang boleh
dikenakan hadd zina. Disebaliknya ia merupakan satu perbuatan maksiat yang
boleh dikenekan hukuman ta’zir, seperti bercium, berpelukan, dan tidur bersama
di atas satu katil, walaupun kesemua perbuatan ini dapat dianggap sebagai percubaan
melakukan zina (muqaddimah zina).[9]
Dalam definisi yang dikemukakan
ulama Syafi’iyyah dan Hanasiyyah di atas, lafaz syubhah, bermaksud sama ada
pada pemilikan (syubhah al-milk) mahupun pada pernikahan (syubhah al-nikah).
Menurut wahbah al-Zuhaili, tokoh fiqhmasa kini dari Syria, yang dimaksudkan
dengan syubhah di sini adalah terdapatnya pertentangan antara dalil yang
melarang degan yang membolehkan (ما يشبه الثابت وليس بثابت). Jika syubhah dihubungkan dengan al-milk,
ini bererti bahawa terdapat pertentangan dalil dalam soal kepemilikan wanita
tersebut. Misalnya, seorang hamba sahaya wanita milik anak, disetubuhi oleh
ayah. Dalam sebuah hadis, [10]rasulullah
s.a.w menyatakan bahawa: “Anda dan harta anada menjadi milik ayah anda”
(H.R. Ibn Majah dari Jabir ibn Abdillah dan meriwayatkan juga oleh ibn Hibban
dari Aisyah). Hal ini mengandungi pengertian bahawa apa yang dimiliki oleh
seorang anak itu juga menjadi milik bagi seeorang ayah. Namun demikian, Wahbah
Al-Zuhaili, seterusnya menerangkan, kepemilikan dalam kaitan ini hanyalah
berbentuk pengajaran dan kebaikan sahaja, bukan dari segi hakikatnya. Dari dua
situasi inilah munculnya suatu syubhah al-milk dalam kes ini, sedangkan
Rasulullah saw menyatakan: أدوؤا
الحدود بالشبهات (Tolaklah hudud jika ada unsur syubhah (H.R. al-baihaqi dari
Ali ibn Abi Thalib).
Sedangkan yang dimaksudkan dengan
syubhah al-milk, adalah terdapatnya unsur-unsur yang dari satu sudut nikah itu
dianggap sah dan bila dilihat dari sudut lain nikah itu adalah tidak memenuhi
syarat. Misalnya, menyetubuhi wanita yang dinikahi tanpa menghadirkan dua orang
saksi, tanpa wali, atau nikah mut’ah (nikah wanita dalam jangkaa waktu
tertentu). Dalam kes-kes seperti ini hukuman perzinaan tidak boleh diterapkan,
kerana adanya unsur syubhah tersebut. Unsur sybhahnya itu muncul akibat
terjadinya perbezaan pendapat ulama fiqh tentang keabsahan nikah-nikah seperti
di atas. Jumhur ulama fiqh, misalnya menyatakan bahawa nikah mut’ah dan nikah
tanpa wali tidak sah. Ulama’ Syafi’iyyah menyatakan bahawa nikah mut’ah itu sah.
Ulama Hanafiyyah menyatakan bahawa nikah mut’ah tanpa wali itu adalah sah. Atas
dasar itu, dari satu di sisi lain ulama fiqh menyatakan bahawa nikah tersebut
adalah sah. di sinilah terletaknya syubhahnya.
Syubhah itu juga boleh berkaitan dengan
perbuatan, menyentuh, buhi isteri yang telah dijatuhi talak tiga dan ia masih
dalam masa iddahnya ataua menyetubuhinya isteri yang dijatuhkan talaknya
berdasarkan al-khulu’. Disamping itu, ada juga syubhah fi al-mahal (syubhah
pada tempat dilakukannya hubungan persetubuhan), sepertimenyetubuhi hamba
sahaya milik anak kandung sendiri, atau menyetubuhi isteri yang telah di talak
ba’in dengan lafaz kinayah. Letak syubhahnya dalam kes seperti ini adalah
terjadinya perbezaan pendapat para sahabat dalam kes seperti ini, apakah
termasuk talak bain (talak yang dijatuhkan suami pada isterinya, di mana suami
tidak boleh merujuk isterinya tersebut, sekalipun dalam masa iddahnya) atau
talak raf’I (talak yang dijatuhkan suami pada isterinya, di mana dalam masa
iddah, suami boleh rujuk pada isterinya itu).
PERSETUBUHAN HARAM
Maksud persetubuhan dalam konteks
perzinaan ini ialah memasukkan zakar ke dalam faraj. Mengikut para fuqaha,
paling minima ialah kepala zakar sepenuhnya. Tidak menjadi syarat sama ada
berlaku inzal (keluar air mani)
Selain cara yang disebut di atas, apa
sahaja pelakuan seks tidak dinamakan perzinaan yang boleh dihukum hudu.
Sebaliknya ia merupakan maksiat yang akan dihukum dengan ta’zir yang setimpal.
Ini termasuk perlakuan yang biasanya
mendahulu persetubuhan itu sendiri seperti bercumbu dan sebagainya. Dalam
istilah para fuqaha, perbuatan-perbuatan seperti itu disebut sebagai mukaddimah
zina.[11]
Menjadi dasar dalam syariat islam, sesiapa
yang haram bersetubuh dengannya haram bercumbu-cumbuan dengannya. Sehubungan
dengan itu firman ALLAH SWT
والذين
هم لفروجهم حفظون (5) ألا على أزوجهم أوماملكت أيمنهم غيرملومين (6) فمن ابتغى
ورآء ذلك فأولئك هم العادون (7)
Maksudnya:
“(Orang yang Berjaya ialah) orang-orang yang menjaga kemaluannya
kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hamba yang mereka miliki.
Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Sesiapa yang mencari (sesuatu)
di sebalik itulah orang yang melampaui batas.”(Surah Al-Mukminun: 5-7).
(i)
KERAGUAN PADA PELAKU
Contohnya bersetubuh dengan perempuan
lain yang disangka isteri. Asas kepada keranguan (syubhah) dalam konteks
seperti ini ialah sangkaan pelaku bahawa dia melakukan sesuatu yang halal.
Hasil daripada kekeliruan ini timbul keranguan yang boleh menolak hukuman
hudud.
(ii)
KERANGUAN PADA CARA
Dalam erti kata lain, keranguan yang
lahir hasil daripada perbezaan pendapat para fuqaha sama ada perbuatan
berkenaan halal atau haram. Dalam kes perkahwinan tanpa saksi misalnya,
terdapat keraguan sama ada persetubuhan yang berlaku haram atau tidak. Ini
kerana, perkahwinan seperti itu sah menurut pandangan Imam Malik. Sama juga
perkahwinan tanpa wali yang dilihat oleh Abu Hanifah sebagai sah dan banyak kes
lagi”
Menurut Ibn Al-Humam di dalam
kitabnya Fath Al-Qadir, Jilid 4, muka surat 140 dan al-Kasani di dalam Kitab Badaa-I
al-Sonan-I, Jilid 7, muka surat 36:[12]
‘keraguan menolak hudu’. Bagi mereka,
hadis berkenaan tidak sabit. Oleh itu, mereka berpendapat hudud tidak boleh
ditolak hanya kerana ada keranguan. Sama seperti ia tidak boleh dikenakan
berasaskan keraguan. Menurut mereka, kalua hudud tidak sabit, ia tidak boleh
dilaksanakan.”
Sabda Rasulullah SAW:
فأن دماءكم وأموالكم وأعراضكم
وأبشاركم عليكم حرام
Maksudnya:
“Darah kamu, harta kamu, maruah kami dan kulit kamu haram atas
kamu”. (Hadis
diriwayatkan al-bukhari dan muslim)
Begitulah juga kalua hudud sudah
sabit ia tidak boleh ditolak kerana ada syubhah.
Firman ALLAH SWT:
تلك حدود الله فلا تعتدوها
Maksudnya:
“itulah hudud (batas-batas) ALLAH. Oleh itu, janganlah kamu
melanggarnya”
(Surah al-Baqarah:229)
Perbezaan pendapat di kalangan para ulama juga berlaku dalam
kes-kes lain yang ada kaitan dengan keraguan. Antaranya, persetubuhannya yang
berlaku dalam perkahwinan sesame mahram, persetubuhan dalam perkahwinan yang
batal. Persetubuhan dalam perkahwinan yang diragui kesahihannya dan
persetubuhan kerana kahwin paksa.[13]
Dalam kes persetubuhan yang berlaku
dalam perkahwinan sesame mahram. Abu Hanifah berpendapat hudud tidak akan
dikenekan kerana ada syubhah. Bagi beliau, walaupun amat jelas perkahwinan
seperti itu tidak sah, namun hudud tidak boleh dilaksanakan kerana ada
keraguan, iaitu akad nikah itu sendiri yang secara prinsipnya merupakan asas
kepada halalnya persetubuhan.
Bagaimana, para fuqaha lain tidak
sependapat dengan beliau. Ini kerana,
akas berkenaan jelas sekali batal dan tidak ada kesan hokum langsung.
Dalam kes persetubuhan yang berlaku
kerana perkahwinan terbatal, Mazhab Maliki, Syafie dan Hanbali berpendapat ia
adalah zina yang mewajibkan hukuman hudud. Pada pandangan mereka, perkahwinan
yang berlaku itu tiada kesan hokum langsung.
Pendapat yang sama dipengang oleh
Mazhab Zahiri dan Abu Yusuf serta Muhammad bin Al-Hasan daripada Mazhab Hanafi.
Menurut Ibn Al-humam di dalam,
kitabnya Fath al-Qadir, jilid 4, muka surat 143:
“Abu Hanifah berpendapat perkahwinan berkenaan walaupun tidak sah
namun ia merupakan syubhah yang boleh menolak hudud. Oleh itu, hukuman yang
perlu dikenakan iaalah ta’zir”.[14]
Sesi Soalan dan Jawapan???
WALI ANAK LUAR NIKAH DAN SEBAB FASAK PERKAHWINAN
Soalan:
-Sepasang
kekasih telah terlanjur. Kemudian mereka berkahwin dengan berwalikan abangnya.
Setelah itu, barulah diketahui yang abangnya adalah anak luar nikah. Bagaimana
dengan status perkahwinan tersebut??
JAWAPANNYA:
-Perkahwinan
tersebut dikira sebagai nikah syubhah. Ini kerana perempuan tadi telah berwalikan
lelaki yang disangka abang kandung tetapi ternyata dia adalah anak luar nikah
yang tiada kaitan dengannya. Perkara ini perlu dilaporkan kepada mahkamah dan
difarakkan daripada suaminya. Pasangan ini perlu dikahwinkan semula dengan
berwalikan hakim jika perempuan tiada wali. Jika mereka mempunyai anak, maka
anak tersebut boleh dinasabkan kepada bapanya. Malah, bapa tersebut boleh
menjadi wali pernikahan anak perempuan.
Allah
SWT menjelaskan lagi:
زين
للناس حب الشهوت من النساءوالبنين
Maksudnya:
“Dihiaskan (dan dijadikan indah) kepada manusia, kesukaan kepada
benda-benda yang diingini nafsu, iaitu perempuan-perempuan dan anak-pinak.”
Seterusnya, kita perlu memelihara
faraj daripada perkara yang syubhah, seperti bersetubuh pada nikah yang batil,
iaitu seseorang itu bertaqlid kepada ulama yang mengatakan nikahnya adalah sah.
Tetapi, sekiranya nikahnya tidak sah, maka persetubuhannya itu adalah haram dan
bukan syubhah.[15]
Soalan:
-Apakah sebab-sebab yang boleh difasakhkan perkahwinan itu??
JAWAPANNYA:
-Terdapat kecacatan sama ada pada suami ataupun isteri yang
dibolehkan difasakhkan seperti gila, kusta, mati pucuk ataupun sebagainya.
-Suami sudah tidak mampu mengeluarkan nafkah ataupun menyediakan
tempat kediaman untuk isterinya dan sebagainya.
-Suami melakukan persetubuhan syubhah dengan ibu ataupun anak
isterinya (anak tiri).
Pengertian
Wathi’ SYUBHAH
Secara etimologis pengertian wathi’, memiliki
makna memijak. Ada yang mengartikan wathi’ dengan bersetubuh dengan perempuan.
Adapun subhat secara etimologis adalah keraguan, kebimbangan, tiada tentu.
Adapun
pengertian wathi’ subhat secara istilah antara lain:
Menurut syara, wathi’ subhat adalah suatu perbuatan
yang bisa mengugurkan seseorang terhadap hukum (had). Contoh persetubuhan yang
dilakukan laki-laki terhadap perempuan karena menyangka bahwa yang disetubuhi
adalah istrinya sendiri.
Menurut hukum normative, wathi’ subhat adalah
hubungan batin antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya unsur kesengajaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan,
akan tetapi juga bukan kesengajaan yang ringan. Contoh seorang laki-laki dan
perempuan yang sedang asyik mabuk-mabukan kemudian tanpa sadar dan disengaja keduanya
tidur bersama.
Menurut para fuqaha, di antaranya Madzhab al-Arbaah.
Pada umumnya sama dalam memberikan pengertin wathi’ subhat yakni sesuatu
perbuatan yang mewajibkan seseorang untuk membayar mahar dan sepadannya.
Kemudian dalam hal mahar dan had ini oleh Syafi’iyah,
Hanafiah, Malikiyah, dan Hambaliyah memberikan ketentuan (tafsir) yang agak
berbeda.
Dari
berbagai pengertian wathi’ subhat, dapat dibedakan dua macam bentuk pengertian:
Subhat akad adalah manakala seorang laki-laki
melaksanakan akad nikah dengan seorang perempuan seperti halnya dengan akad
nikah sah lainnya, tapi kemudian ternyata bahwa akad nikah tersebut fasid
karena satu dan lain alasan. Contoh, akad nikah non muslim terhadap perempuan
muslimah.
Subhat perbuatan adalah manakala seorang laki-laki
mencampuri perempuan tanpa adanya akad antara mereka berdua baik sah maupun
fasid, karena tidak sadar atau dia meyakini bahwa yang dia campuri itu halal
baginya, tapi ternyata perempuan itu adalah haram dicampuri. Contoh, seorang
laki-laki menyetubuhi perempuan karena menyangka istrinya, tapi ternyata yang
disetubuhi itu bukan istrinya yang halal baginya.[17]
Dari dua bentuk pengertian ini, oleh Abu Hanifah
beliau memperjelas dan memperluas pengertian subhat bentuk fi’li ini dengan
pengertian yang sangat luas sekali ketika beliau mengatakan, kalau ada seorang
laki-laki mengambil seorang perempuan menjadi orang upahannya, lalu dia
menzinainya, atau mengupahinya untuk melakukan zina dengannya, lalu dia
benar-benar melakukan perbuatan itu, maka tidak ada had (hukuman zina atas
keduanya). Sebab pemilikan pemanfaatan atas perempuan itu merupakan sesuatu
yang subhat.”
Pada umumnya para ulama Sunni dan Syiah sependapat,
bahwa manakala salah satu pengertian di atas (subhat akad dan fi’li) telah
terjadi maka si perempuan harus menjalani iddah sebagaimana layaknya perempuan
yang dicerai. Sama halnya dengan kewajiban membayar mahar secara penuh
kepadanya oleh seorang laki-laki serta perempuan tersebut dihukumi sebagaimana
halnya seorang istri (yang sah) dalam hal iddah, mahar dan penentuan nasab.
Jika subhat tersebut terjadi kepada kedua belah pihak
(laki-laki dan perempuan), maka anak yang dihasilkan dari hubungan tersebut
dikaitkan (nasabnya pada keduanya). Sedangkan bila hanya terjadi pada salah
satu pihak, maka anak tersebut dikaitkan nasabnya hanya pada orang yang
menjalani kesubhatan dan ditiadakan dari yang tidak mengalaminya.[18]
Definisi Wathi Syubhah
-Jika
seorang lelaki melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan, dan lelaki itu
menyangka bahawa perempuan yang disetubuhinya itu ialah isterinya, sedangkan
perempuan itu sebenanya bukan isterinya, atau bukan lelaki tadi menyangka
bahawa perkahwinannya dengan perempuan yang disetubuhinya itu sah mengikut
hokum syarak, sedengankan sebenarnya perkahwinan mereka itu tidak sah. Maka
dalam kes ini, kedua-dua orang itu tidak boleh didakwa di bawah keszina dan
tidak boleh dikenakan hukuman hudud kerana persetubuhan mereka itu adalah
termasuk dalam “wati syubhah”, iaitu persetubuhan yang meragukan.
(QANUN
JENAYAH SYARI’AH PERKARA: 14 ZINA)
Persetubuhan antara pasangan
yang tidak sah pernikahannya dianggap sebagai wati syubhah sekiranya pernikahan
pernikahan tidak sah disebabkan kejahilan atau tidak sengaja. Tetapi sekiranya
pasangan mengetahui bahawa pernikahan mereka tidak sah, tetapi masih
meneruskannya, maka ia dianggap sebagao zina.[19]
Kesimpulan
Sebuah
hubungan yang dilakukan karena ada sebuah unsur syubhat, seperti seseorang yang
menjiwa’ wanita lain yang dikira istrinya, atau menjima’ wanita yang telah
menjadi istrinya karena sebuah pernikahan yang fasid, maka tidak termasuk zina.
Semua syubhat yang dilakukan tidak dapat menyebabkan hukuman had, karena had
tidak bisa ditegakkan apabila masih ada syubhat. Walaupun ada dari beberapa
syubhat tersebut menyebabkan hubungan ta’zir. Kecuali apabila syubhat karena
sebuah pernikahan fasid yang dilakukan seseorang terhadap wanita yang haram
dinikahi maka seorang tersebut masih tetap dijatuhi hukuman had, karena
menikahi wanita yang haram dinikahi tidak bisa dijdikan sebagai alasan syubhat,
kecuali apabila memang seorang tersebut adalah wanita yang haram dinikahi.
Begitu juga
seorang wanita yang dijima’ secara syubhat wajib menjalani masa iddah seperti
iddah thalak, sebagai bentuk kehati-hatian terhadap keturunan yang dihasilkan
dari rahim wanita. Begitu juga wanita yang telah menikah, sebagai bentuk
kehati-hatian dari tercampurnya nasab anak yang telah dilahirkan.
Sedangkan nasab anak yang dihasilkan dari jima’ syubhat atau pernikahan fasid tetap kepada bapaknya, atau seorang yang telah menjima’nya. Karena baik nikah shahih atau fasid nasab anak tetap kepada seorang yang menjima’ bukan kepada ibunya, karena anak syubhat hukumnya berbeda dengan anak zina.
Kedudukan Anak Wathi’ Syubhah
Anak yang dilahirkan
daripada perkahwinan yang tidak sah ini dianggap sebagai anak wati syubhah. Ia
layak menggunakan nama bapanya sebagai nasab. Mengikut enakmen undang-undang
keluarga islam Selangor 2003, seksyen 114 menyatakan,
“Jika seseorang lelaki melakukan perkahwinan syubhah dengan seorang
perempuan, dan kemudian perempuan itu melahirkan seorang anak dalam tempoh
antara enam bulan qamariah hingga empat tahun qamariah selepas persetubuhan
itu, maka lelaki itu hendaklah disifatkan sebagai bapa anak itu”.[20]
Kedudukan anak hasil
perkahwinan syubhah
Masalah yang
puan alami banyak terjadi di dalam masyarakat kita hari ini. Status sah taraf
seseorang anak terutama yang membabitkan anak hasil perzinaan dipandang remeh
sehingga ada yang sanggup menipu dan menyorokkan hal sebenar semata-mata demi
menjaga nama atau hati anak berkenaan.
Malangnya,
masyarakat kita lupa kesan daripada tindakan itu sangat besar dan akhirnya
membawa kemudaratan. Kerana itu, Islam tidak pernah memandang mudah
permasalahan ini bahkan turut memberi jalan penyelesaiannya.
Ia
kerana permasalahan serta persoalan berkaitan keturunan adalah satu isu
penting. Bermula dari keturunan akan menentukan pelbagai hukum asas seperti
pernikahan, nafkah, al-wilayah ataupun kedudukan, pembahagian harta pusaka
serta penentuan bahagian dan kelayakan menerima wasiat.
Jika
keturunan tidak dapat ditentukan dengan jelas maka ia akan memberi kesan
terhadap beberapa hukum penting sebagaimana yang dijelaskan di atas.
Hal itu
juga yang berlaku ke atas perkahwinan terdahulu suami puan iaitu perkahwinan
itu harus difaraqkan (dipisahkan) atas alasan wali ketika pernikahan adalah
wali yang tidak sah.
Walaupun
lelaki itu abang kepada pengantin perempuan tetapi abangnya adalah seorang anak
yang tak sah taraf. Perkahwinan itu pada asalnya dianggap sah tetapi terpaksa
difaraqkan atas alasan yang menyebabkan perkahwinan itu menjadi tidak sah.
Antara
faktor suatu perkahwinan menjadi tidak sah adalah kerana masalah wali.
Selanjutnya, pasangan suami isteri hendaklah berkahwin semula mengikut syarat
perkahwinan yang sah bagi membolehkan perkahwinan mereka sah mengikut hukum
syarak.[21]
Itulah
yang dilakukan suami puan dan bekas isterinya yang terdahulu. Setelah mereka
berkahwin semula mengikut tatacara yang tepat dan menggunakan wali selayaknya,
barulah hubungan mereka dianggap sah dan boleh meneruskan kehidupan suami
isteri seperti biasa.
Pertama,
persoalan puan mengenai status anak kepada suami yang dilahirkan ketika dalam
tempoh perkahwinan terdahulu. Mengikut Enakmen Undang-undang Keluarga Islam
Selangor 2003, Seksyen 114 menyatakan, “Jika seseorang lelaki melakukan
persetubuhan syubhah dengan seorang perempuan, dan kemudian perempuan itu
melahirkan seorang anak dalam tempoh antara enam bulan qamariah hingga empat
tahun qamariah selepas persetubuhan itu, maka lelaki itu hendaklah disifatkan
sebagai bapa anak itu”.
Peruntukan
itu bermaksud, setiap anak yang lahir melalui persetubuhan syubhah tetap
dianggap sebagai anak sah taraf dan anak kandung kepada bapanya sekiranya
dilahirkan di antara tempoh enam bulan hingga empat tahun qamariah dikira
bermulanya dari persetubuhan itu berlaku.
Perkahwinan
syubhah bermaksud suatu akad perkahwinan yang dianggap sah oleh pasangan kerana
semua syarat perkahwinan telah dipenuhi tetapi pada hakikatnya akad itu tidak
sah kerana sebab tertentu.
Contohnya
bagi suami puan dan isterinya terdahulu, mereka beranggapan perkahwinan mereka
sah kerana ada wali, saksi, ijab kabul, pengantin lelaki dan pengantin
perempuan.
Tetapi
hakikatnya, akad itu tidak sah kerana wali tidak memenuhi syarat perwalian.
Oleh yang demikian, jika ketika dalam proses perkahwinan tiada mana-mana pihak
yang mengetahui status wali yang mewalikan pernikahan itu, maka anak tiri puan
telah memenuhi syarat peruntukan di atas dan anak berkenaan adalah anak sah
taraf dan boleh dibinkan atau dibintikan kepada suami puan.[22]
Tetapi
jika ada pihak ketika proses perkahwinan itu mengetahui status sebenar wali
yang mewalikan pernikahan tidak menepati syarat atau adalah anak tak sah taraf,
maka kesan ke atas anak dari perkahwinan itu tidak boleh dibinkan atau
dibintikan dengan nama bapa anak berkenaan.
Perkara
kedua, kedudukan anak itu dianggap anak sah taraf, menjadi kewajipan bagi
seorang ayah menyediakan nafkah sewajarnya terhadap anaknya sebagaimana yang
layak diterima oleh anak-anak puan.
Nafkah
dari segi istilah adalah dimaksudkan dengan semua perkara yang diperlukan
manusia seperti makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Bapa dan datuk ke
atas wajib memberi nafkah kepada anaknya dan cucunya ke bawah.
Oleh
itu, bapa adalah bertanggungjawab menyediakan nafkah untuk anaknya tidak kira
sama ada lelaki atau perempuan. Jika bapa tiada, maka datuk atau mana-mana
waris yang terdekat hendaklah mengambil alih tanggungjawab itu.
Begitu
jugalah hak anak terhadap harta suami puan, memandangkan anak itu adalah anak
kandung suami puan, maka dia berhak terhadap pembahagian harta pusaka milik
suami puan.
Jika
anak itu tak sah taraf, maka dia tidak berhak ke atas nafkah serta harta pusaka
suami puan. Sebagaimana diperuntukkan mengikut Seksyen 86 Enakmen yang sama
bahawa hak penjagaan ke atas anak tak sah taraf adalah semata-mata pada ibu dan
saudara mara ibu. Maka ibu anak itu berkewajipan menyediakan nafkah dan anak
juga hanya layak menerima pembahagian harta pusaka dari hak milik ibunya saja.
Berkenaan
batasan aurat di antara anak itu dan anak puan, jelas tanpa sebarang pertikaian
jika anak itu dan anak puan adalah saudara kandung sebapa tidak akan terjadi
istilah batal air sembahyang.[23]
Tetapi
jika sebaliknya, maka auratnya adalah sama seperti hubungan dengan orang lain
yang tiada perhubungan persaudaraan. Semoga puan dapat menjaga dan melayan anak
itu dengan baik dan ikhlas seperti anak puan yang lain.
Perbezaan
hak anak luar nikah, kahwin syubhah
Keturunan tidak layak berbin bapa boleh warisi
pusaka ibu kandung
Timbalan
Menteri Pembangunan Wanita, Keluarga dan
Masyarakat, Datuk Heng Seai Kie ketika sesi soal jawab di Dewan Rakyat
menyatakan bagi 2008 hingga 2010, Jabatan Pendaftaran Negara (JPN) merekodkan
152,182 anak tak sah taraf dilahirkan dan 257,5411 bagi 2000 hingga 2008.
Statistik
itu mengikut kes dilaporkan ke JPN dan kita percaya statistik sebenarnya lebih
lagi memandangkan banyak kes kelahiran anak tak sah taraf yang tidak
didaftarkan, sudah pastinya angka ini amat membimbangkan. Anak tak sah taraf
berkait secara langsung dengan persoalan zina yang makin berleluasa di kalangan
umat Islam kebelakangan ini. Justeru, untuk membendung permasalahan ini
berterusan maka jalan yang boleh melorongkan ke arah perlakuan zina harus
ditutup serapat-rapatnya. Kita wajib mencari jalan bagi menutup ruang untuk
perlakuan zina seperti membataskan pergaulan lelaki dan wanita, menutup tempat
maksiat seperti pusat hiburan atau rumah urut.
Mengikut
peruntukan undang-undang contohnya, seksyen 2(1) Enakmen Undang-undang Keluarga
Islam (Negeri Johor) 2003 mentakrifkan ‘anak tak sah taraf’ anak yang
dilahirkan daripada hubungan luar nikah dan bukan anak daripada persetubuhan
syubhah.[24]
Mengikut peruntukan undang-undang dan hukum
syarak, anak tak sah taraf tiada hubungan dengan suami ibunya atau lelaki yang
menyebabkan ibunya mengandung. Nasab anak ini hanyalah kepada ibu dan
keturunannya. Ini bermakna anak ini tiada bapa dan tidak layak menerima apa-apa
daripada lelaki bergelar bapa. Nafkah saraan anak tak sah taraf di bawah
tanggungan ibunya dan bukan menjadi tanggungan lelaki yang bersama ibunya. Dari
sudut perwalian pula, anak itu tidak mempunyai wali dan perlu kepada wali hakim
jika hendak bernikah. Anak luar nikah tidak dinasabkan kepada mana-mana lelaki,
sebaliknya dinasabkan kepada ibunya/keturunannya.Dari sudut perwarisan pula,
jika ibu kandungnya meninggal dunia, anak itu berhak mendapatkan bahagian dari
pusaka ibunya.Anak tak sah taraf berbeza dengan anak yang lahir daripada
persetubuhan syubhah (wati syubhat) atau persetubuhan meragukan.Perkahwinan
syubhah bermaksud akad perkahwinan yang dianggap sah oleh pasangan kerana semua
syarat perkahwinan dipenuhi tetapi pada hakikatnya akad itu tidak sah kerana
sebab tertentu.Contohnya bagi suami dan isteri, mereka beranggapan perkahwinan
mereka sah kerana memenuhi rukun pernikahan iaitu dengan adanya wali, saksi,
ijab kabul, pengantin lelaki dan pengantin perempuan.Tetapi hakikatnya, akad
itu tidak sah kerana wali tidak memenuhi syarat perwalian. Oleh demikian, jika
ketika dalam proses perkahwinan tiada mana-mana pihak mengetahui status wali
yang mewalikan pernikahan, maka anak itu adalah anak sah taraf. Anak itu tetap
dinasabkan iaitu dibin atau binti kepada lelaki berkenaan. Maka lelaki
berkenaan ialah ayah kepada anak yang bakal dilahirkan dan berkewajipan
menyediakan nafkah sewajarnya seperti mana layak diterima anak.
Mengikut Enakmen Undang-undang Keluarga
Islam Selangor 2003, seksyen 114 menyatakan, “Jika seseorang lelaki
melakukan persetubuhan syubhah dengan seorang perempuan, dan kemudian perempuan
itu melahirkan seorang anak dalam tempoh antara enam bulan qamariah hingga
empat tahun qamariah selepas persetubuhan itu, maka lelaki itu hendaklah
disifatkan sebagai bapa anak itu.”[25]
Setiap
anak yang lahir melalui persetubuhan syubhah tetap dianggap sebagai anak sah
taraf dan anak kandung kepada bapanya jika dilahirkan antara tempoh enam bulan
hingga empat tahun qamariah dikira bermula persetubuhan itu berlaku. Begitu
juga hak anak berkenaan terhadap harta peninggalan bapanya. Jika ada pihak
ketika proses perkahwinan mengetahui status sebenar wali yang mewalikan
pernikahan tidak menepati syarat, maka anak dari perkahwinan itu tidak boleh
dibinkan atau dibintikan dengan bapa anak berkenaan.
Masyarakat
diseru tidak meminggirkan atau menghina anak tidak sah taraf kerana mereka
perlu diberi ruang dan peluang untuk meneruskan kehidupan. Status anak tak sah
taraf ini bukanlah atas kehendak anak yang tidak berdosa sebaliknya akibat
kesalahan kedua-dua ibu bapanya. Masyarakat juga harus membezakan antara anak
tak sah taraf dengan anak lahir dari pernikahan yang meragukan dengan hak dan
status dua keadaan anak ini berbeza mengikut peruntukan undang-undang serta
hukum syarak.
HASIL PERSETUBUHAN SYUBHAH BUKAN ANAK HARAM
Mengulas lanjut, Timbalan Mufti
Selangor, Datuk Abdul Majid Omar berkata, bagaimanapun anak yang lahir hasil persetubuhan syubhah
tidak dikategorikan dalam kalangan anak tidak sah taraf sebagaimana yang
disepakati para fuqaha.
Beliau berkata, secara umumnya dirumuskan anak tidak sah taraf
adalah merujuk kepada anak yang dilahirkan hasil perzinaan dan bukan dari
perkahwinan atau persetubuhan syubhah.
"Terdapat peruntukan undang-undang kesahtarafan anak dalam
Enakmen Undang-undang Keluarga Islam (Negeri Selangor) 2003 yang memperuntukan
siapa yang dikaitkan sebagai bapa.”
"Jika seorang perempuan berkahwin dengan seorang lelaki dan
melahirkan seorang anak dalam tempoh lebih daripada enam bulan qamariah (bulan
Hijrah) dari tarikh perkahwinan, maka anak itu hendaklah dibinkan dengan lelaki
tersebut.”[26]
"Begitu juga jika penceraian berlaku dalam tempoh sebelum
empat tahun qamariah bermula tarikh perkahwinan dan perempuan itu melahirkan
anak tanpa berkahwin semula, hendaklah anak itu dibinkan kepada bekas suami
tadi.”
"Bagaimanapun, lelaki itu boleh menafikan anak tersebut
dengan cara li'an (pertuduhan) di mahkamah," ujarnya.
Tambah Abdul Majid, nasab sangat dititikberatkan dalam Islam
kerana ia boleh mengakibatkan kecelaruan dan permasalahan yang bakal timbul
kepada individu atau keturunan individu tersebut pada masa depan.
Permasalahan tersebut ialah, penamaan, pergaulan, nasab, hak
penjagaan, nafkah, pusaka wali, dan kematian.
Beliau berkata, dari sudut penamaan, anak tak sah taraf
hendaklah dibinkan atau dibintikan dengan Abdullah atau nama-nama lain dalam
asma al-husna (99 nama Allah). Ia tidak wajar di bin atau bintikan ibu anak
tersebut kerana dikhuatiri menimbulkan kesan psikologi terhadap anak.
Manakala dalam konteks pergaulan pula, perhubungan anak tidak
sah taraf dengan ahli keluarga ibunya adalah mempunyai hubungan kekeluargaan
yang sah (mahram), tetapi tidak kepada keluarga bapanya yang tidak sah itu
(bukan mahram).
"Anak tidak sah taraf hendaklah dinasabkan terus kepada
ibunya bukan lelaki yang menyetubuhi ibu tersebut. Bagaimanapun, anak tersebut
harus dibin atau bintikan dengan Abdullah atau asma al-husna.”
"Manakala lelaki yang menyetubuhi ibu anak tidak sah taraf
tiada hak dalam penjagaan anak dan ia dipertanggungjawab kepada ibu dan saudara
sebelah ibu. Begitu juga hal sama kepada pemberian nafkah.”[27]
"Anak tidak sah taraf boleh mewarisi harta pusaka ibunya
sahaja tetapi tidak berhak kepada bapanya yang tidak sah taraf. Begitu juga
sebaliknya bapanya tidak berhak mewarisi pusakanya.”
"Hak perwalian anak tidak sah taraf adalah terletak pada
ibunya dan tidak sah bagi lelaki yang menyetubuhi ibu atau bapa tiri anak
tersebut jika ibunya berkahwin.”
"Manakala kematian anak tidak sah taraf yang belum baligh
adalah mengikut ibunya walaupun bukan beragama Islam dan mayatnya diuruskan
mengikut agamanya. Tidak berhak lelaki yang menyetubuhi ibu anak tersebut untuk
menuntut jenazah anak walau beragama Islam," katanya.
KONSEP HUKUM PIDANA ISLAM: PERSETUBUHA
DENGAN ADANYA SYUBHAH
Pendapat Zhahiriyah tidak menganggap hadits yang menerangkan
tentang pengaruh syubhat terhadap hukuman had sebagai hadits yang shahih.
Hadits yang diperselisihkan itu lengkapnya adalah sebagai berikut
Nabi Muhammad bersabda;
“hapuslah hukuman had dengan adanya syubhat. Tolaklah pembunuhan dari kaum muslimin menurut kemampuanmu.”
Dengan demikian menurut Zhahiriyah hukuman hudud tidak dapat digugurkan dan ditegakan dengan syubhah. Yaitu apabila tidak bisa dibuktikan, hukuman had tidak dapat ditegakan dengan syubhat. Akan tetapi apabila tindak pidana dapat dibuktikan maka hukuman had tidak dapat dihentikan dengan syubhah.[28]
Nabi Muhammad bersabda;
“hapuslah hukuman had dengan adanya syubhat. Tolaklah pembunuhan dari kaum muslimin menurut kemampuanmu.”
Dengan demikian menurut Zhahiriyah hukuman hudud tidak dapat digugurkan dan ditegakan dengan syubhah. Yaitu apabila tidak bisa dibuktikan, hukuman had tidak dapat ditegakan dengan syubhat. Akan tetapi apabila tindak pidana dapat dibuktikan maka hukuman had tidak dapat dihentikan dengan syubhah.[28]
Akan tetapi, para fuqaha lain berpendapat bahwa hadits tentang
pengaruh syubhah tersebut merupakan hadits yang shahih. Dengan demikian mereka
sepakat bahwa persetubuhandengan adanya syubhah tidak dikenai hukuman had,
tetapi mereka berbeda pendapat tentang apa yang disebut dengan syubhah. Dasar
perbedaan dalam menentukan syubhah ini adalah perbedaan mengenai penilaian dan
perkiraan. Suatu pihak menganggap bahwa suatu keadaan tertentu dianggap sebagai
syubhah, sementara oleh pihak lainya bukan syubhah.
Adapun yang dimaksud dengan syubhah adalah;
“sesuatu yang menyerupai tetap (pasti) tetapi tidak tetap (pasti).”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa syubhah itu adalah suatu peristiwa atau keadaan yang menyebabkan suatu perbuatan berada di antara ketentuan hukum, yaitu dilarang atau tidak. Dalam hubunganya dengan persetubuhan (wathi’), yang dianggap sebagai syubhah adalah apabila terdapat suatu keadaan yang meragukan, apakah persetubuhan itu dilarang atau tidak. Misalnya adanya keyakinan pelaku bahwa wanita yang disetubuhinnya itu adalah istrinya padahal sebenarnya bukan, dan keadaan waktu itu seang gelap, dan wanita itu berada di kamar istrinya. Keadaan ini merupakan syubhah dalam prsetubuhan (wathi’) sehingga pelaku bisa dibebaskan dari hukuman had.
Golongan Syafi’iyah dan Hanafiyah mengadakan pembagiansyubhat ini, sedangkan ulama-ulama yang lain tidak membaginya, melainkan mencukupkan dengan mengemukakan apa yang dianggap sebagai syubhah dan apa alasan dari anggapan itu. Hal itu karena syubhat jenisnya sangat banyak dan tidak mungkin dihitung satu per satu, karena ia mengikuti peristiwa peristiwa yang terjadi yang selalu berkembang.[29]
Golongan Syafi’i membagi syubhah ini kepada tiga bagian sebagai
berikut;
[1] syubhah dalam objek atau tempat
Pengertian syubhah dalam objek adalah suatu bentuk syubhah yang terdapat dalam objek atau tempat dilakukanya persetubuhan. Contohnya adalah menyetubuhi isteri yang sedang haid atau sedang berpuasa, atau menyetubuhi istri pada duburnya. Dalam contoh ini syubhah terdapat dalam objek (tempat) dilakukanya perbuatan terlarang, karena istri (objek) dimiliki oleh suami, dan adalah haknya menyetubuhi istrinya. Akan tetapi karena istri sedang haid atau puasa ramadhan, atau menyetubuhi pada duburnya maka persetubuhan itu dilarang. Hanya saja keadaan istri yang milik suami dan adanya hak suami untuk menyetubuhinya, menyebabkan syubhah pada persetubuhan tersebut dan menyebabkan terbebas dari hukuman had. Keyakinan pelaku tentang halal-haramnya perbuatan, tidak ada pengaruhnya, karena dasar dari syubhah disini bukan keyakinan atau dugaan pelaku, melainkan tempat atau objek perbuatan dan kewenangan yang diberikan oleh syara’ kepada pelaku.
Pengertian syubhah dalam objek adalah suatu bentuk syubhah yang terdapat dalam objek atau tempat dilakukanya persetubuhan. Contohnya adalah menyetubuhi isteri yang sedang haid atau sedang berpuasa, atau menyetubuhi istri pada duburnya. Dalam contoh ini syubhah terdapat dalam objek (tempat) dilakukanya perbuatan terlarang, karena istri (objek) dimiliki oleh suami, dan adalah haknya menyetubuhi istrinya. Akan tetapi karena istri sedang haid atau puasa ramadhan, atau menyetubuhi pada duburnya maka persetubuhan itu dilarang. Hanya saja keadaan istri yang milik suami dan adanya hak suami untuk menyetubuhinya, menyebabkan syubhah pada persetubuhan tersebut dan menyebabkan terbebas dari hukuman had. Keyakinan pelaku tentang halal-haramnya perbuatan, tidak ada pengaruhnya, karena dasar dari syubhah disini bukan keyakinan atau dugaan pelaku, melainkan tempat atau objek perbuatan dan kewenangan yang diberikan oleh syara’ kepada pelaku.
[2] syubhah pada dugaan pelaku
Syubhah disini bukan terletak pada objek perbuatan, melainkan pada dugaan dan keyakinan pelaku. Contohnya menyetubuhi wanita yang tidur di kamar seorang suami yang di sangka sebagai istrinya, padahal sebenarnya seorang tamu. Peristiwa ini menimbulkan syubhah dan dasar dari syubhat disini adalah sangkaan dan keyakinan pelaku bahwa perbuatan yang dilakukanya bukan perbuatan yang di larang. Adanya syubhah ini kemudian dapat mengakibatkan hapusnya hukuman had bagi pelaku tersebut.[30]
Syubhah disini bukan terletak pada objek perbuatan, melainkan pada dugaan dan keyakinan pelaku. Contohnya menyetubuhi wanita yang tidur di kamar seorang suami yang di sangka sebagai istrinya, padahal sebenarnya seorang tamu. Peristiwa ini menimbulkan syubhah dan dasar dari syubhat disini adalah sangkaan dan keyakinan pelaku bahwa perbuatan yang dilakukanya bukan perbuatan yang di larang. Adanya syubhah ini kemudian dapat mengakibatkan hapusnya hukuman had bagi pelaku tersebut.[30]
[3] syubhah pada jihat atau aspek hukum
Adapun yang dimaksud syubhah model ini adalah syubhah dalam ketidakjelasan hukum halal-haramnya perbuatan. Dasar dari syubhar ini adalah adanya perbedaan pendapat dari para fuqaha mengenai hukum perbuatan tesebut. Dengan demikian, setiap perbuatan yang diperselisihkan oleh para fuqaha mengenai hukum halal haramnya maka perselisihan tersebut menyebabkan timbulnya syubhah dan dapat menggugurkan hukuman had. Contohnya: nikah tanpa wali. Imam Abu Hanifah membolehkanya, sedangkan ulama lain, seperti Imam Syafi’i tidak membolehkanya. Contoh yang lain; Imam Malik membolehkan nikah tanpa saksi, sementara menurut ulama lain, saksi merupakan syarat sah nika yang wajib dipenuhi. Ibnu Abbas dan golongan Syi’ah membolehkan nikah mut’ah, sedangkan ulama yang lain tidak membolehkanya. Karena adanya perbedaan pendapat antara hukum pernikahan tersebut maka timbulah syubhah dalam persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang melakukan pernikahan semacam itu. Dengan adanya syubhah tersebut, pelaku tidak dikenakan hukuman had.[31]
Adapun yang dimaksud syubhah model ini adalah syubhah dalam ketidakjelasan hukum halal-haramnya perbuatan. Dasar dari syubhar ini adalah adanya perbedaan pendapat dari para fuqaha mengenai hukum perbuatan tesebut. Dengan demikian, setiap perbuatan yang diperselisihkan oleh para fuqaha mengenai hukum halal haramnya maka perselisihan tersebut menyebabkan timbulnya syubhah dan dapat menggugurkan hukuman had. Contohnya: nikah tanpa wali. Imam Abu Hanifah membolehkanya, sedangkan ulama lain, seperti Imam Syafi’i tidak membolehkanya. Contoh yang lain; Imam Malik membolehkan nikah tanpa saksi, sementara menurut ulama lain, saksi merupakan syarat sah nika yang wajib dipenuhi. Ibnu Abbas dan golongan Syi’ah membolehkan nikah mut’ah, sedangkan ulama yang lain tidak membolehkanya. Karena adanya perbedaan pendapat antara hukum pernikahan tersebut maka timbulah syubhah dalam persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang melakukan pernikahan semacam itu. Dengan adanya syubhah tersebut, pelaku tidak dikenakan hukuman had.[31]
Golongan Hanafiyah membagi syubhah tersebut menjadi dua bagian:
[a] syubhah dalam perbuatan
Syubhah ini berlaku dalam hak nya orang yang merasa ragu-ragu tentang hukum suatu perbuatan, bahkan bagi orang yang tidak meragukanya. Syubhah ini disebut juga syubatul isytibah atau syubatul musyabahah. Syubhah ini terjadi dalam hak orang yang meragukan tentang halal atau haramnya suatu perbuatan bagi dirinya, dan tidak ada dalil yang menunjukan halalnya, melainkan ia menyangka seuatu yang bukan dalil. Contohnya adalah laki-laki yang menyetubuhi istrinya yang sudah ditalak tiga tetapi masih dalam iddah. Dalam kasus ini jelas persetubuhanya dilarang karena hubungan perkawinan mereka telah putus dengan talak tiga. Akan tetapi hukuman had dapat dihapus apabila ia menyangka bekas istrinya itu masih halal baginya untuk disetubuhi, dengan alasan tidak ada hak nasab bagi anak yang lahir dalam masa kurang dari dua tahun sejak dijatuhkanya talak. Di samping itu dalam masa iddah, suami masih diwajibkan memberikan nafkah dan membolehkan bekas istrinya untuk tinggal di rumahnya. Sangkaan tersebut meskipun tidak pantas dijadikan alasan (dalil) halalnya perbuatan (persetubuhan), namun karena ia menganggapnya sebagai dalil (alasan) maka hal itu dapat menimbulkan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had.
Untuk terwujudnya syubhat dalam hal ini disyaratkan bahwa di dalam masalah tersebut sama sekali tidak ada dalil yang menunjukkan dilarangnya perbuatan, dan pelaku menyangka bahwa perbuatan tersebut adalah halal. Dengan demikian apabila ada dalil yang menunjukan dilarangnya perbuatan, atau sangkaan tentang halalnya perbuatan tidak terbukti maka tidak ada syubhat sama sekali, dan pelaku tetap dikenai hukuman had.[32]
[a] syubhah dalam perbuatan
Syubhah ini berlaku dalam hak nya orang yang merasa ragu-ragu tentang hukum suatu perbuatan, bahkan bagi orang yang tidak meragukanya. Syubhah ini disebut juga syubatul isytibah atau syubatul musyabahah. Syubhah ini terjadi dalam hak orang yang meragukan tentang halal atau haramnya suatu perbuatan bagi dirinya, dan tidak ada dalil yang menunjukan halalnya, melainkan ia menyangka seuatu yang bukan dalil. Contohnya adalah laki-laki yang menyetubuhi istrinya yang sudah ditalak tiga tetapi masih dalam iddah. Dalam kasus ini jelas persetubuhanya dilarang karena hubungan perkawinan mereka telah putus dengan talak tiga. Akan tetapi hukuman had dapat dihapus apabila ia menyangka bekas istrinya itu masih halal baginya untuk disetubuhi, dengan alasan tidak ada hak nasab bagi anak yang lahir dalam masa kurang dari dua tahun sejak dijatuhkanya talak. Di samping itu dalam masa iddah, suami masih diwajibkan memberikan nafkah dan membolehkan bekas istrinya untuk tinggal di rumahnya. Sangkaan tersebut meskipun tidak pantas dijadikan alasan (dalil) halalnya perbuatan (persetubuhan), namun karena ia menganggapnya sebagai dalil (alasan) maka hal itu dapat menimbulkan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had.
Untuk terwujudnya syubhat dalam hal ini disyaratkan bahwa di dalam masalah tersebut sama sekali tidak ada dalil yang menunjukkan dilarangnya perbuatan, dan pelaku menyangka bahwa perbuatan tersebut adalah halal. Dengan demikian apabila ada dalil yang menunjukan dilarangnya perbuatan, atau sangkaan tentang halalnya perbuatan tidak terbukti maka tidak ada syubhat sama sekali, dan pelaku tetap dikenai hukuman had.[32]
[b] syubhah dalam tempat atau objek
Syubhat ini disebut syubhatul hukmiyah atau syubhatul milk. Syubhah ini terjadi apabila tidak ada kejelasan dalam hukum syara’ tentang halalnya objek, bukan dalam sangkaan pelaku. Dalam syubhah jenis ini disyaratkan bahwa syubhat timbul dari hukum syara’, dengan adanya dalil syar’i yang menghilangkan keharaman perbuatan tersebut. Golongan Hanafiyah memberikan contoh lapan kes jarimah zina yang termasuk syubhahul mahal (syubhah dalam objek). Tujuh kes diantaranya berkaitan dengan persetubuhan terhadap jariyah atau hamba sahaya. Akan tetapi karena zaman ini masalah sahaya telah dihapuskan maka hal itu tidak dibicarakan disini. Adapun syubhat yang satu lagi adalah menyetubuhi istri yang ditalak bain bil kinayah (dengan sindiran). Alasan Hanafiyah menganggap syubhat dalam kasus menyetubuhi istri yang di talak bain dengan kinayah, karena hilangnya hak milik terhadap istri dengan talak bain bil kinayah merupakan masalah yang masih diperselisihkan hukumnya sejak zaman sahabat. Menurut sayidina Umar dan Ibnu Mas’ud, talak ba’in dengan kinayah merupakan talak raj’iy yang tidak menghilangkan hak milik. Sedangkan menurut sayidina Ali, talak tersebut merupakan talak tiga, hingga dengan demikian hubungan pernikahan sudah putus sama sekali.
Syubhat ini disebut syubhatul hukmiyah atau syubhatul milk. Syubhah ini terjadi apabila tidak ada kejelasan dalam hukum syara’ tentang halalnya objek, bukan dalam sangkaan pelaku. Dalam syubhah jenis ini disyaratkan bahwa syubhat timbul dari hukum syara’, dengan adanya dalil syar’i yang menghilangkan keharaman perbuatan tersebut. Golongan Hanafiyah memberikan contoh lapan kes jarimah zina yang termasuk syubhahul mahal (syubhah dalam objek). Tujuh kes diantaranya berkaitan dengan persetubuhan terhadap jariyah atau hamba sahaya. Akan tetapi karena zaman ini masalah sahaya telah dihapuskan maka hal itu tidak dibicarakan disini. Adapun syubhat yang satu lagi adalah menyetubuhi istri yang ditalak bain bil kinayah (dengan sindiran). Alasan Hanafiyah menganggap syubhat dalam kasus menyetubuhi istri yang di talak bain dengan kinayah, karena hilangnya hak milik terhadap istri dengan talak bain bil kinayah merupakan masalah yang masih diperselisihkan hukumnya sejak zaman sahabat. Menurut sayidina Umar dan Ibnu Mas’ud, talak ba’in dengan kinayah merupakan talak raj’iy yang tidak menghilangkan hak milik. Sedangkan menurut sayidina Ali, talak tersebut merupakan talak tiga, hingga dengan demikian hubungan pernikahan sudah putus sama sekali.
Ulama-ulama Syafi’iyah dan Hanabilah dalam hal ini sama
pendapatnya dengan Hanafiyah, sedangkan Malikiyah sebagian sama pendapatnya
dengan Hanafiyah, sebagian lagi menganggapnya sebagai syubhah.
Sebenarnya Imam Abu Hanifah sendiri masih menambah macam syubhah ini dengan macam yang ketiga yaitu syubhat bil aqdi, yakni syubhat yang terjadi karena adanya akad walaupun akad tersebut telah disepakati oleh para ulama tentang haramnya. Contohnya seperti nikah dengan wanita muhrim (wanita yang haram untuk dinikahi). Akan tetapi murid-muridnya tidak menerima syubhad bil aqdi, karena akadnya sudah jelas diharamkan, dengan demikian hukumnya batal dan tidak menimbulkan hak milik.[33]
Sebenarnya Imam Abu Hanifah sendiri masih menambah macam syubhah ini dengan macam yang ketiga yaitu syubhat bil aqdi, yakni syubhat yang terjadi karena adanya akad walaupun akad tersebut telah disepakati oleh para ulama tentang haramnya. Contohnya seperti nikah dengan wanita muhrim (wanita yang haram untuk dinikahi). Akan tetapi murid-muridnya tidak menerima syubhad bil aqdi, karena akadnya sudah jelas diharamkan, dengan demikian hukumnya batal dan tidak menimbulkan hak milik.[33]
Dalam hubungan dengan syubhat dalam wathi’ karena adanya akad
ini, berikut ini akan dikemukakan contoh beberapa kasus sebagai berikut.
[1] wathul maharim
Adapun yang dimaksud dengan wathul maharim adalah menyetubuhi wanita muhrim yang dinikahi. Hukum pernikahan ini adalah batal menurut kesepakatan para ulama. Dengan demikian apabila terjadi persetubuhan dengan wanita muhrim yang dinikahi, menurut Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Zhahiriyah, Syi’ah Zaydiyah, dan Abu Yusuf serta murid Imam Abu Hanifah maka pelaku harus dikenakan hukuman had karena di sana tidak ada syubhat. Akan tetapi, Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang kawin dengan seorang wanita yang tidak halal baginya untuk dinikahi kemudian ia melakukan persetubuhan denganya maka tidak dikenai hukuman had, walaupun ia tahu wanita itu haram untuk dinikahinya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam hal ini terdapat syubhat, yaitu adanya akad nikah yang merupakan sebab dibolehkannya persetubuhan pada umumnya. Akan tetapi karena pernikahan itu dilarang maka sebab kebolehan menjadi hilang dan tinggalah bentuk syubhatnya. Dengan adanya syubhat yang menggugurkan hukum had maka hukuman yang dikenakan pada pelaku adalah hukum ta’zir.
Akan tetapi, ulama-ulama lain menolak argumantasi yang dikemukakan Imam Abu Hanifah dengan alasan persetubuhan yang dilakukan terhadap farji yang disepakati haramnya karena bukan hak milik dan tidak ada syubhat milik, tetap perbuatan zina yang harus dikenakan hukum had.dalam hal ini, akad nikah yang dilakukan adalah akad yang batal dan tidak ada pengaruhnya sama sekali, sehingga hal itu tidak dapat dianggap sebagai syubhat.
[2] persetubuhan dalam pernikahan yang batal
Apabila terjadi persetubuhan dalam lingkungan pernikahan yang batal, seperti nikah dengan istri yang ke lima, atau dengan wanita yang bersuami atau yang di talak tetapi masih dalam masa idah maka persetubuhan tersebut merupakan zina dan harus dikenai hukuman had. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah akad tersebut meskipun batal, tetap menimbulkan syubhat yang dapat menimbulkan gugurnya hukuman had, sehingga yang demikian perlu dikenai hukuman ta’zir.[34]
Adapun yang dimaksud dengan wathul maharim adalah menyetubuhi wanita muhrim yang dinikahi. Hukum pernikahan ini adalah batal menurut kesepakatan para ulama. Dengan demikian apabila terjadi persetubuhan dengan wanita muhrim yang dinikahi, menurut Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Zhahiriyah, Syi’ah Zaydiyah, dan Abu Yusuf serta murid Imam Abu Hanifah maka pelaku harus dikenakan hukuman had karena di sana tidak ada syubhat. Akan tetapi, Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang kawin dengan seorang wanita yang tidak halal baginya untuk dinikahi kemudian ia melakukan persetubuhan denganya maka tidak dikenai hukuman had, walaupun ia tahu wanita itu haram untuk dinikahinya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam hal ini terdapat syubhat, yaitu adanya akad nikah yang merupakan sebab dibolehkannya persetubuhan pada umumnya. Akan tetapi karena pernikahan itu dilarang maka sebab kebolehan menjadi hilang dan tinggalah bentuk syubhatnya. Dengan adanya syubhat yang menggugurkan hukum had maka hukuman yang dikenakan pada pelaku adalah hukum ta’zir.
Akan tetapi, ulama-ulama lain menolak argumantasi yang dikemukakan Imam Abu Hanifah dengan alasan persetubuhan yang dilakukan terhadap farji yang disepakati haramnya karena bukan hak milik dan tidak ada syubhat milik, tetap perbuatan zina yang harus dikenakan hukum had.dalam hal ini, akad nikah yang dilakukan adalah akad yang batal dan tidak ada pengaruhnya sama sekali, sehingga hal itu tidak dapat dianggap sebagai syubhat.
[2] persetubuhan dalam pernikahan yang batal
Apabila terjadi persetubuhan dalam lingkungan pernikahan yang batal, seperti nikah dengan istri yang ke lima, atau dengan wanita yang bersuami atau yang di talak tetapi masih dalam masa idah maka persetubuhan tersebut merupakan zina dan harus dikenai hukuman had. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah akad tersebut meskipun batal, tetap menimbulkan syubhat yang dapat menimbulkan gugurnya hukuman had, sehingga yang demikian perlu dikenai hukuman ta’zir.[34]
[3] persetubuhan dalam pernikahan yang diperselisihkan hukumnya
Persetubuhan dalam pernikahan yang diperselisihkan hukum sahnya, seperti nikah mut’ah, muhallil, nikah tanpa wali, nikah tanpa saksi, tidak dianggap sebagai zina, dan pelaku tidak dikenai hukuman had. Hal ini disebabkan karena pernikahan tersebut menimbulkan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had, kecuali menurut kelompok Zhahiriyah.
[4] Persetubuhan karena dipaksa
Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada hukuman had bagi wanita yang dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilarang (zina). Dalam hal ini keadaan tersebut dapat digolongkan kepada keadaan darurat. Dasar hukumnya adalah;
“…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya…”
(Terjemahan Qur’an Surat al Baqarah [2]:173)
“…ALLAH telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…”
(Terjemahan Qur’an Surat al An’am [6]:119)
Persetubuhan dalam pernikahan yang diperselisihkan hukum sahnya, seperti nikah mut’ah, muhallil, nikah tanpa wali, nikah tanpa saksi, tidak dianggap sebagai zina, dan pelaku tidak dikenai hukuman had. Hal ini disebabkan karena pernikahan tersebut menimbulkan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had, kecuali menurut kelompok Zhahiriyah.
[4] Persetubuhan karena dipaksa
Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada hukuman had bagi wanita yang dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilarang (zina). Dalam hal ini keadaan tersebut dapat digolongkan kepada keadaan darurat. Dasar hukumnya adalah;
“…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya…”
(Terjemahan Qur’an Surat al Baqarah [2]:173)
“…ALLAH telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…”
(Terjemahan Qur’an Surat al An’am [6]:119)
Alasan lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn majah,
Baihaqi. Nabi Muhammad bersabda;
“sesungguhnya ALLAH mengampuni umatku atas perbuatan yang dilakukan karena kekeliruan, lupa, dan apa yang dipaksakan atas nya”
Akan tetapi jika yang dipaksa berzina adalah laki-laki, menurut pendapat yang marjuh (lemah) di dalam mahdzab Maliki, hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Syi’ah Zaydiyah, ia tetap dikenai hukuman had. Alasanya adalah jika yang dipaksa itu wanita, kemungkinanya besar sekali karena wanita tugasnya itu adalah menyerahkan dirinya. Tetap jika laki-laki tidak bisa dikatakan dipaksa jika alat kelaminya menegang, karena tegangnya itu menunjukan kesediaanya. Apabila alat kelaminya tidak menegang tetapi dipaksa maka disini dikenakan hukuman had.[35]
“sesungguhnya ALLAH mengampuni umatku atas perbuatan yang dilakukan karena kekeliruan, lupa, dan apa yang dipaksakan atas nya”
Akan tetapi jika yang dipaksa berzina adalah laki-laki, menurut pendapat yang marjuh (lemah) di dalam mahdzab Maliki, hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Syi’ah Zaydiyah, ia tetap dikenai hukuman had. Alasanya adalah jika yang dipaksa itu wanita, kemungkinanya besar sekali karena wanita tugasnya itu adalah menyerahkan dirinya. Tetap jika laki-laki tidak bisa dikatakan dipaksa jika alat kelaminya menegang, karena tegangnya itu menunjukan kesediaanya. Apabila alat kelaminya tidak menegang tetapi dipaksa maka disini dikenakan hukuman had.[35]
Menurut pendapat yang rajih (kuat) dari mahzab mahzab tersebut,
tidak ada hukuman had bagi laki-laki yang dipaksa untuk berzina, karena paksaan
itu bagi laki-laki maupun perempuan statusnya sam saja. Alasanya masalah
tegangnya kelamin itu kadang-kadang merupakan pembawaan (tabiat) dan itu lebih
menunjukan sifat kejantananya daripada kesediaanya. Terlepas dari itu semua,
ikrah (paksaan) itu merupakan syubhat yang dapat menyebabkan gugurnya hukuman
had.
Golongan zhahiriah berpendapat bahwa tidak ada hukuman had bagi orang yang dipaksa untuk berzina, baik laki-laki maupun perempuan. Apabila seorang wanita menahan seorang laki-laki untuk berzina dengan dirinya atau sebaliknya maka tidak ada hukuman had.
Golongan zhahiriah berpendapat bahwa tidak ada hukuman had bagi orang yang dipaksa untuk berzina, baik laki-laki maupun perempuan. Apabila seorang wanita menahan seorang laki-laki untuk berzina dengan dirinya atau sebaliknya maka tidak ada hukuman had.
[e] kekeliruan dalam persetubuhan
Kekeliruan atau kesalahan dalam persetubuhan ini ada dua kemungkinan, yaitu kekeliruan dalam persetubuhan yang mubah dan kekeliruan dalam persutubuhan yangb diharamkan.[36]
Kekeliruan atau kesalahan dalam persetubuhan ini ada dua kemungkinan, yaitu kekeliruan dalam persetubuhan yang mubah dan kekeliruan dalam persutubuhan yangb diharamkan.[36]
[1] kekeliruan dalam persetubuhan yang mubah
Apabila terjadi kekeliruan dalam persetubuhan yang diharamkan maka pelaku tidak dikenai hukuman, karena ia tidak memiliki niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Dasar hukumnya adalah;
“…Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf (keliru) padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu…”
(Terjemahan Qur’an Surat al Ahzaab [33]:5)
Dasar hukum yang lain adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al Baihaqi dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Muhammad bersabda;
“sesungguhnya ALLAH swt mengampuni dari umatku atas perbuatan yang dilakukan kerana kesalahan, lupa, dan apa yang dipaksakan atasnya”
(Terjemahan hadits riwayat Baihaqi dari Ibnu Abbas)
Dengan adanya kekeliruan ini maka terdapatlah syubhah dalam persetubuhan yang dapat mengakibatkan gugurnya hukuman had. Contoh kekeliruan macam pertama ini adalah seperti seseorang yang menyetubuhi seorang wanita yang disangka sebagai isterinya, kerana wanita sedang berbaring di bilik tidur suami, pada hak ia seorang tamu atau saudara kembar istri. Alasan tidak dikenakan hukuman had ini adalah bahwa pelaku menyangka perbuatanya itu adalah mudah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah tidak memandang contoh yang disebutkan diatas sebagai syubhah yang dapat menggugurkan hukuman had, karena yang dapat menggugurkan had adalah syubhatul hil, yaitu syubhat dalam halalnya perbuatan. Adapun dalam kasus ini tidak ada syubhat selain menemukan wanita itu ditempat tidurnya dan itu tidak bisa dijadikan sandaran timbulnya sangkaan halalnya perbuatan tersebut.[37]
Apabila terjadi kekeliruan dalam persetubuhan yang diharamkan maka pelaku tidak dikenai hukuman, karena ia tidak memiliki niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Dasar hukumnya adalah;
“…Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf (keliru) padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu…”
(Terjemahan Qur’an Surat al Ahzaab [33]:5)
Dasar hukum yang lain adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al Baihaqi dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Muhammad bersabda;
“sesungguhnya ALLAH swt mengampuni dari umatku atas perbuatan yang dilakukan kerana kesalahan, lupa, dan apa yang dipaksakan atasnya”
(Terjemahan hadits riwayat Baihaqi dari Ibnu Abbas)
Dengan adanya kekeliruan ini maka terdapatlah syubhah dalam persetubuhan yang dapat mengakibatkan gugurnya hukuman had. Contoh kekeliruan macam pertama ini adalah seperti seseorang yang menyetubuhi seorang wanita yang disangka sebagai isterinya, kerana wanita sedang berbaring di bilik tidur suami, pada hak ia seorang tamu atau saudara kembar istri. Alasan tidak dikenakan hukuman had ini adalah bahwa pelaku menyangka perbuatanya itu adalah mudah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah tidak memandang contoh yang disebutkan diatas sebagai syubhah yang dapat menggugurkan hukuman had, karena yang dapat menggugurkan had adalah syubhatul hil, yaitu syubhat dalam halalnya perbuatan. Adapun dalam kasus ini tidak ada syubhat selain menemukan wanita itu ditempat tidurnya dan itu tidak bisa dijadikan sandaran timbulnya sangkaan halalnya perbuatan tersebut.[37]
[2] kekeliruan dalam persetubuhan yang diharamkan
Apabila kekeliruan terjadi dalam persetubuhan yang diharamkan maka pelaku tidak bisa dibebaskan dari hukuman, karena keadaan tersebut tidak bisa dianggap sebagai syubhat yang dapat menggugurkan hukuman. Contoh seseorang yang memesan pelacur A, tetapi yang dikirim adalah pelacur B, lalu B disetubuhinya karena disangka A. Dalam hal ini, A dan B adalah waniata yang diharamkan untuk disetubuhi sehingga sangkaan pelaku yang keliru tidak menimbulkan syubhat dan karenanya pelaku tidak bisa dibebaskan dari hukuman had. Namun apabila pelaku memesan pelacur kemudian yang datang adalah istrinya kemudian ia menyetubuhi istrinya karena disangka pelacur, maka dalammhal ini ia tidak dikenai hukuman. Karena wanita yang disetubuhinya tidak haram baginya, walaupun ia berdosa kerana sangkaanya itu.
Apabila kekeliruan terjadi dalam persetubuhan yang diharamkan maka pelaku tidak bisa dibebaskan dari hukuman, karena keadaan tersebut tidak bisa dianggap sebagai syubhat yang dapat menggugurkan hukuman. Contoh seseorang yang memesan pelacur A, tetapi yang dikirim adalah pelacur B, lalu B disetubuhinya karena disangka A. Dalam hal ini, A dan B adalah waniata yang diharamkan untuk disetubuhi sehingga sangkaan pelaku yang keliru tidak menimbulkan syubhat dan karenanya pelaku tidak bisa dibebaskan dari hukuman had. Namun apabila pelaku memesan pelacur kemudian yang datang adalah istrinya kemudian ia menyetubuhi istrinya karena disangka pelacur, maka dalammhal ini ia tidak dikenai hukuman. Karena wanita yang disetubuhinya tidak haram baginya, walaupun ia berdosa kerana sangkaanya itu.
[f] perkawinan setelah terjadinya zina
Perkawinan yang menyusul setelah terjadinya zina dianggap sebagai syubhah yang dapat menggugurkan hukuman had. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah menurut riwayat Abu Yusuf. Akan tetapi menurut riwayat Muhammad bin Hasan, perkawinan tersebut tidak dianggap sebagai syubhah, karena persetubuhan tersebut merupakan zina yang terjadi sebelum timbulnya hak milik. Disamping itu, perkawinan itu tidak belaku surut, kerana dalam kes ini tidak ada syubhah.
Perkawinan yang menyusul setelah terjadinya zina dianggap sebagai syubhah yang dapat menggugurkan hukuman had. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah menurut riwayat Abu Yusuf. Akan tetapi menurut riwayat Muhammad bin Hasan, perkawinan tersebut tidak dianggap sebagai syubhah, karena persetubuhan tersebut merupakan zina yang terjadi sebelum timbulnya hak milik. Disamping itu, perkawinan itu tidak belaku surut, kerana dalam kes ini tidak ada syubhah.
[g] Utuhnya selaput darah
Utuhnya selaput dara merupakan syubhah bagi hak orang yang terbukti oleh saksi melakukan perbuatan zina. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaydiyah. Dengan demikian apabila empat orang saksi menyaksikan seorang wanita berzina, tetapi berdasarkan pemeriksaan dokter ahli yang dapat dipercaya, selaput dara wanita tersebut masih utuh maka tidak ada hukuman had bagi wanita, karena hal itu dianggap sebagai syubhat. Demikian para saksi tidak dikenakan hukuman, kerana mereka bertindak sebagai saksi bukan sebagai penuduh.[38]
Utuhnya selaput dara merupakan syubhah bagi hak orang yang terbukti oleh saksi melakukan perbuatan zina. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaydiyah. Dengan demikian apabila empat orang saksi menyaksikan seorang wanita berzina, tetapi berdasarkan pemeriksaan dokter ahli yang dapat dipercaya, selaput dara wanita tersebut masih utuh maka tidak ada hukuman had bagi wanita, karena hal itu dianggap sebagai syubhat. Demikian para saksi tidak dikenakan hukuman, kerana mereka bertindak sebagai saksi bukan sebagai penuduh.[38]
Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa wanita tersebut tetap
harus dikenai hukuman had, karena pembuktian dengan saksi yang menyatakan
dilakukanya zina harus didahulukan untuk diterima sebagai bukti daripada hasil
pemeriksaan dokter yang menerangkan keutuhan selaput dara yang seolah-olah
menunjukan wanita tersebut tidak melakukan zina. Disamping itu terdapat pula
kemungkinan terjadinya persetubuhan tanpa merusak selaput darah.[39]
RUJUKAN
4) Haron Din Menjawab Persoalan
Fikah Harian, Ishak Din Dan Abu Hassan Din.
5) Inspirasi Khutbah Rasulullah.
6) Hudud Dan Hukum Perlaksanaan,
Prof Madya Datin Dr Paizah Hj. Ismail.
7) Kita Ciptaan Terindah.
8) Syariah Dan Undang-Undang. Suatu
Perbandingan.
9) Hudud Dalam Fiqh Islam, Mohd.
Said Ishak.
[1] Konsultasi keluarga nikah Syubhah, m/s 272
[2] Konsultasi keluarga nikah syubhah, m/s 273
[3] Konsultasi keluarga nikah Syubhah, m/s 274
[4] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 102
[5] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 102
[6] Hudud Dalam Fiqh Islam, Mohd Said Ishak, m/s20-12
[7] Hudud Dalam Fiqh Islam, Mohd
Said Ishak, m/s20-21
[8] Hudud Dalam Fiqh Islam, Mohd Said Ishak,m/s20-21
[9] Hudud dalam fiqh islam, mohd. Said ishak, m/s 4
[10] Hudud dalam fiqh islam, mohd. Said ishak, m/s 5
[11] Hudud dalam fiqh islam, mohd. Said ishak, m/s 8 dan hudud hukum
& pelaksanaan, prof. Madya Datin Dr. Paizah Hj. Ismail, m/s 173
[12] hudud hukum & pelaksanaan, prof. Madya Datin Dr. Paizah Hj.
Ismail, m/s 179
[13] hudud hukum & pelaksanaan, prof. Madya Datin Dr. Paizah Hj.
Ismail, m/s 180
[14] hudud hukum & pelaksanaan, prof. Madya Datin Dr. Paizah Hj.
Ismail, m/s 181-182
[15] Kita ciptaan terindah, m/s 76
[16]Fikah Harian,ishak din dan abu hassan din, m/s 77
[17] Inspirasi khutbah Rasulullah saw, m/s 181
[18] Inspirasi khutbah Rasulullah saw, m/s 181
[19] Inspirasi khutbah Rasulullah saw, m/s 181
[20] Inspirasi khutbah Rasulullah saw, m/s 183
[21] Inspirasi khutbah Rasulullah saw, m/s 173
[22] Inspirasi khutbah Rasulullah saw, m/s 174
[23] Inspirasi khutbah Rasulullah saw, m/s 175
[24] Syariah dan undang-undang, zaini nasohah, m/s 45
[25] Syariah dan undang-undang, zaini nasohah, m/s 46
[26] Syariah dan undang-undang, zaini nasohah, m/s 55
[27] Syariah dan undang-undang, zaini nasohah, m/s 56
[28] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 95
[29] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 95
[30] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 96
[31] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 96
[32] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 97
[33] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 98
[34] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 99
[35] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 99
[36] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 100
[37] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 100
[38] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 101
[39] Konsep hukum pidana islam persetubuhan Syubhah, m/s 101
salam mohon izin share
ReplyDeleteJazakallahu anni khairan kathira
ReplyDelete